Ada Apa Dengan Gejolak Negeriku


Tujuh puluh satu tahun sudah Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno membacakan teks proklamasi sebagai pengakuan kemerdekaan bangsa indonesia di mata dunia. Sebuah deklarasi kemenangan akhirnya dikumandangkan setelah sekian lama bertaruh nyawa demi sebuah tekad untuk merdeka. Tapi, benarkah kita telah merdeka?


Sejumlah persoalaan serius yang melanda Bangsa Indonesia menguatkan keraguan kita terkait pertanyaan di atas, sungguhkah kita telah merdeka? Sebutlah misalnya tentang kemiskinan sebagai fenomena sosial yang tidak seharusnya lagi ada pada bangsa yang telah merdeka. Karena kemiskinan adalah jejak nyata tentang keterjajahan. Seharusnya memang demikian, tetapi fenomena ini justru tumbuh subur di bumi Indonesia.


Kurang tersedianya lapangan dan kesempatan kerja yang diperparah dengan kondisi masyarakat yang tidak mampu menciptakan peluang kerja disinyalir sebagai faktor yang cukup signifikan menyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Hasil pertanian di desa juga dinilai tidak lagi bisa diharapkan untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat.  Akhirnya, penduduk desa banyak hijrah ke kota mengadu nasib. Berbekal pengalaman sebagai petani, keterampilan kerja yang dimiliki tentu hanya bisa terserap menjadi buruh kasar. Tidak jarang, nasib mereka di kota tidak menjadi lebih baik. Sebagian besar diantaranya justru luntang-lantung tanpa arah.


Arus urbanisasi dengan pengalaman dan keterampilan kerja yang pas-pasan bagi penduduk desa, melahirkan persoalan baru di kota-kota besar. Pemukiman kumuh mulai berdiri tegak. Anak-anak yang seharusnya berada di bangku sekolah dipaksa oleh keadaan untuk bekerja mengumpulkan recehan, minimal bisa buat makan untuk satu atau dua kali waktu makan. Tepi jalan dan zona lampu merah menjelma jadi panggung konser bagi penyanyi cilik dengan lagu-lagu bernada sumbang. Trotoar yang dibuat sebagai zona bagi pejalan kaki juga beralih fungsi menjadi lapak-lapak dagangan. Tepi dan kolong jembatan disulap menjadi istana untuk istirahat, melepas penat dan letih setelah mengais receh seharian.


Selain kemiskinan, masalah serius lainnya adalah proses penegakan hukum.  Tajam kebawah, tumpul ke atas adalah ungkapan familiar dalam masyarakat yang menggambarkan betapa jauhnya pergeseran penegakan hukum dari tujuan keberadaannya, yakni keadilan, kepastian,dan kemanfaatan. Hukum sebagai koridor normatif dalam pencapaian keadilan hanyalah sebentuk dongeng yang tak pernah nyata. Akhirnya, masyarakat lebih mempercayai sikap dan tindakannya sendiri dari pada menyerahkan masalah yang menimpanya kepada proses peradilan.


Kejahatan koruptor yang menjarah uang negara meski dimasukkan dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime) tetapi penindakannya belum pernah benar-benar luar biasa. Contoh kasus, pencuri singkong karena lapar atau nenek yang menebang pohon bukan miliknya  untuk kayu bakar justru diganjar hukuman yang lebih tinggi dari pada perampok uang negara itu.


Padahal, Indonesia disebut sebagai negara hukum. Penyebutan itu tertuang dalam UUD 1945, Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat). Filsuf Aristoteles  dalam teorinya merumuskan bahwa negara hukum adalah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan bagi warga negaranya.


Kedua pemasalahan di atas,  kemiskinan dan proses penegakan hukum seharusnya mampu di tangani secara serius dan di wujudkan dalam bentuk realitas, bukan hanya secara tekstual belaka . Reformasi sistem sampai pada akarnya juga wajib di wujudkan mengingat sistem yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan dinamika kehidupan sekarang.  Sistem dibangun sejatinya untuk mendorong peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat terhadap bangsanya,  agar tujuan bangsa indonesia sebagai negara yang merdeka seutuhnya bisa terwujud.


Nama : Rapdi Rahasiwi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KISAH RAPDI RAHASIWI PENYEMANGAT

Menata Hati Dengan Kelembutan Cinta

CERITA SERIES